Kambali Dompu Mantoi – Dompu
adalah daerah yang cukup minim dalam hal ketersediaan sumber maupun
referensi sejarah tertulis. Kalaupun ada, sumber sejarah hanya berupa
cerita rakyat atau hanya mengandalkan ingatan para tokoh tua Dompu yang
terkadang ingatan tersebut sudah memudar dimakan usia penuturnya. Di
dompu, hampir tidak ada bukti fisik yang memberitakan eksistensi sosial
politik masyarakat Dompu dahulu kecuali hanya sedikit. Itupun dalam
kondisi tidak terawat dan sangat memprihatinkan.
Termasuk di dalamnya adalah istana
kerajaan atau kesultanan dompu, sama sekali tidak ada bekas yang tersisa
kecuali cerita dari generasi tua. Itupun tak semua orang dapat dengan
mudah mengakses informasinya. Sehingga tidak mengherankan jika banyak
generasi muda dompu pada hari ini sama sekali buta akan sejarah dompu.
Mereka lebih mengenal sejarah majapahit atau sriwijaya karena diajarkan
di sekolah.
Tidak seperti Bima yang masih memiliki
asi bou dan asi ntoi yang sekarang saling berdampingan sebagai monument
yang akan terusdikenang, dompu sama sekali tak memilikinya bahkan
bekasnya pun tak Nampak lagi. Hanya sebuah gambar hitam putih yang saat
ini menjadi koleksi Museum Sejarah Universitas Leiden Belanda yang dapat
kita tatap sebagai gambaran bahwa demikianlah wajah bangunan yang
dikatakan sebagai “Paleis van Dompoe” itu.

Foto “Istana” Dompu yang diambil tanggal 5 Agustus 1932, dua tahun sebelum Sultan M. Sirajuddin diasingkan ke Kupang, NTT.
Lalu di manakah lokasi istanan kerajaan dompu itu?
Menurut cerita rakyat Dompu, yang tentu
saja hanya beredar di kalangan keturunan keluarga penduduk yang
benar-benar asli Dompu, bahwa pusat pertama Kerajaan Dompu adalah di
Tonda, Woja. Legenda itu menyebutkan bahwa ada seorang pangeran dari
kerajaan Tulang Bawang, Lampung, yang terdampar di Woja. Ia kemudian
bertemu dengan Ncuhi Patakula, penguasa daerah itu. Singkat cerita para
Ncuhi, atau kepala suku setanah Dompu pun sepakat untuk mengangkat
pangeran ini sebagai raja pertama. Ia kemudian menikahi anak gadis Ncuhi
Patakula yang bernama La Komba Rawe. Berarti dapat kita simpulkan dari
legenda ini, bahwa di Tonda-lah istana Dompu pertama kali dibangun.
Mengingat tradisi masyarakat Dompu sampai saat ini masih membangun rumah
dari kayu, maka dapat diduga pula bahwa istana pertama itu terbuat dari
kayu sehingga bekasnya tidak lagi Nampak akibat termakan oleh waktu.
Pusat kerajaan yang kedua menurut cerita
rakyat turun temurun adalah komplek situs Doro Bata, Kelurahan kandai
Satu, Kec. Dompu. Situs Doro Bata berbentuk sebuah bukit setinggi rumah
berlantai dua dengan permukaan rata memanjang dari barat ke timur seluas
100 m2. Di sekelilingnya ditemukan banyak bata besar berserakan.
Konon di sanalah lokasi istana Kerajaan
Dompu dahulu. Namun tidak ada kepastian kapan pusat pemerintahan ini
dipindahkan dari Tonda ke Kandai Satu. Dugaan kami bahwa pusat
pemerintahan ini dipindah pada masa masuknya agama Hindu ke Dompu. Dalam
hal ini, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, pusat pemerintahan
ini dipindahkan oleh raja pertama Dompu. Mengingat ia adalah pangeran
dari Kerajaan Tulang Bawang yang berdiri pada Abad VII Masehi. Kerajaan
Tulang Bawang adalah kerajaan bercorak Hindu, tidak menutup kemungkinan
pangeran yang terdampar di Dompu juga membawa agama Hindu ke Dompu.
Dalam kerajaan-kerajaan hindu, istana terletak tak jauh dari tempat
ibadah sedangkan tempat ibadah harus memenuhi kriteria nyatur desa.
Yakni dikelilingi oleh gunung atau bukit dari empat penjuru mata angin.
Kemungkinan kedua, pusat pemerintahan itu
dipindah setelah Kerajaan Dompu ditaklukan oleh Majapahit pada tahun
1357 M. Pada tahun 1545 M, raja Dompu ke Sembilan masuk Islam dan
bergelar Sultan Syamsuddin. Ketika Gunung Tambora meletus pada tahun
1815, istana kesultanan yang terletak di tepi Sungai na’e (yakni di
situs Dorobata) diduga runtuh atau tertimbun abu vulkanik yang sangat
tebal sehingga tidak mungkin lagi ditempati. Sultan Abdul Rasul II yang
memerintah waktu itu memerintahkan pembangunan istana kesultanan yang
baru di sebelah utara sungai. Yakni di lokasi yang sekrang berdiri
masjid Raya Baiturrahim Dompu. Inilah yang membuatnya digelari Sultan
Mawa’a Bata Bou (Sang Pembangun Istana Bata Baru).
Ketika Sultan Dompu Muhammad Sirajuddin
dibuang oleh penjajah Belanda ke Kupang pada tahun 1934, maka otomatis
Kesultanan Dompu tidak lagi memiliki pemimpin. Ketika penjajah Jepang
masuk pada tahun 1941, mereka menggabungkan Dompu yang tak lagi memiliki
sultan menjadi bagian dari Kesultanan Bima. Istana baru inipun
dibongkar. Kemungkinan istana inilah yang sempat difoto oleh Belanda
tahun 1932 di atas, yakni berlokasi di lokasi Masjid raya sekarang.
Tahun 1947, Dompu kembali memiliki sultan
dan pemerintahan sendiri dengan diangkatnya Muhammad Tajul Arifin, anak
dari Abdul Wahab bin Muhammad Sirajuddin sebagai sultan yang baru.
Penulis menduga, pada masa beliaulah dibangun istana lain yang berlokasi
di RSUD Dompu saat ini. Dugaan ini didasarkan pada tulisan dalam
majalah Pantjawarna, tahun 22 nomor 17 yang terbit pada bulan Februari
tahun 1950. Dalam tulisan tersebut penulis menggambarkan tentang keadaan
Dompu pada masa itu secara detail pada halaman 22 dan 23. Di dalam
artikel itu dikatakan bahwa: Istana baru hampir rampung dan kemudian akan diatur lain-lain dijalanan dan gedung.
Tahun 1958, Dompu resmi berubah menjadi
daerah kabupaten berdasarkan UU no. 64 tahun 1958. Dua tahun kemudian,
Sultan M.T. Arifin Sirajuddin digantikan oleh H. Abdurrahman Mahmud.
Dugaan penulis, saat itulah kantor bupati yang sekarang dibangun dan
istana dirubuhkan untuk membangun rumah sakit. Bagaimanapun,
dugaan-dugaan di atas masih perlu dibuktikan dengan penelaahan historis.
Wallahu a’lam bishawwab.
sumber : https://kambalidompumantoi.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar